KH Abdul Chalim Leuwimunding Pahlawan Nasional(Bagian 3, Habis): Menggembleng Pasukan Hizbullah & Sabilillah, Melawan Agresi Militer Belanda

  • Whatsapp
Makam KH Abdul Chalim saat diziarahi oleh rombongan DR H Moeldoko, pertengahan tahun ini.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan menganugerahi enam tokoh yang dianggap berjasa bagi bangsa dan negara semasa hidupnya sebagai Pahlawan Nasional dalam acara Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2023. Dari enam tokoh tersebut satu di antaranya adalah tokoh Nahdlatul Ulama (NU) asal Jawa Barat, yakni KH Abdul Chalim. KH Abdul Chalim akan mendapat anugerah Pahlawan Nasional berdasarkan surat Kementerian Sekretariat Negara RI Nomor R-09/KSN/SM/GT.02.00/11/2023 tertanggal 3 November 2023. Berikut bagian ke-3 tulisan soal KH Abdul Chalim.

Bacaan Lainnya

KH ABDUL CHALIM selain seorang ulama pejuang juga seorang politisi. Terkait politik, KH Abdul Chalim menulis konsep mudārah dalam kata pengantar untuk buku H.O.S. Tjokroaminoto, Politiek Harus Berdasar Islam, yang diterbitkan oleh KH Abdul Chalim pada tahun 1925. Yang dimaksud oleh KH Abdul Chalim dengan mudārah adalah politik kelembutan (kebijakan yang baik), di mana dengan kebijakan ini manusia bisa memperoleh kebaikan-kebaikan dan terhindar dari kerugian-kerugian serta selamat lahir dan batin.

Menurut KH Abdul Chalim, mudārah sudah diperintahkan dalam segala hal oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya. KH Abdul Chalim menyeru kepada umat Islam dan putra-putri Hindia Timur ketika itu untuk mempelajari politik kelembutan dalam Islam yang Beliau anggap “maha penting.”

Dalam hal politik, KH Abdul Chalim menterjemahkan mudārah sebagai politik yang halus dan baik untuk menarik manusia ke arah perikemanusiaan dan mencegah bahaya kemelaratan. Dengan konsep mudārahnya, KH Abdul Chalim, menegaskan bahwa jargon “politik untuk agama” maupun “agama untuk politik” merupakan hal yang kurang tepat, karena seharusnya antara politik dan agama terdapat keseimbangan guna selamat dunia dan akhirat.
Para penindas berupaya untuk menghasut tentang agama atau malah agama menjadi kedok semata. Bila sudah berkuasa, akan menindas rakyat dan bahkan menguras keringat manusia sampai kering.

Karena itu, mudārah dalam konteks Indonesia berkaitan dengan Pancasila yang sudah dimusyawarahkan oleh para ulama. Seharusnya, menurut KH Abdul Chalim, jangan ada wacana mengubah, maupun pemberontakan untuk mengganti Pancasila.

Konsep mudārah ini kemudian dikembangkan oleh M. Quraish Shihab dalam bukunya, Wasathiyyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama (2020). M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa dalam hidup beragama mudārah adalah “sikap memelihara keberagamaan.”

Menurut M. Quraish Shihab, mudārah adalah sikap menghindari kejahatan dari orang, yang diduga dapat menjadi baik, dengan sikap lemah lembut terhadapnya sehingga orang lain yang tadinya akan berbuat jahat itu terbuka hatinya untuk berbuat baik, dan orang lain terhindar dari keburukannya.

Jadi, dalam mudārah itu kendati hati seseorang yang menampilkan kebiasaan dari sikapnya yang buruk, dihadapi dengan sikap lemah lembut, dan menampilkan senyum.

Foto KH Abdul Chalim semasa menjabat sebagai anggota MPRS.

KH Abdul Chalim menerapkan konsep berpolitik itu dalam aktivitasnya terkait perjuangan meraih kemerdekaan, mendidik masyarakat, hingga ikut terlihat dalam organisasi di Nahdlatul Ulama (NU) termasuk juga dalam bernegara. KH Abdul Chalim juga memiliki prinsip untuk merintis, mengisi, dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia sampai akhir hayatnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, KH Abdul Chalim mengajar di Nahdlatul Wathan. Dan di tahun 1927, KH Abdul Chalim menjadi pengawas (penilik) di seluruh madrasah di Surabaya.

Pada tahun 1928, KH Abdul Chalim mengajar di Akhul Wathan (Sudara se-Tanah Air) anak cabang Nahdlatul Wathan, yang ada di Pacar Keling, Surabaya No. 100.

Pada masa kepemimpinan KH Abdul Chalim sebagai Konsul Hoof Bestuur (Pimpinan Besar) Nahdlatoel Oelama di tahun 1935 di Karasidenan Cirebon, berdiri 7 madrasah di 6 tempat di Cirebon, dan sudah punya 950 murid.
Pada 1 Mei 1938, Berita Nahdlatoel Oelama mengabarkan ada konferensi mengenai Pergoeroean Nahdlatoel Oelama. Di konferensi ini ada instruksi dari HBNO (Hoofd Bestuur (Pimpinan Besar) Nahdlatoel Oelama) kepada tiap konsulatnya untuk mendirikan Pergoeroean NO, dan untuk menyamakan organisasi, serta leerplan (rencana pengajaran) di madrasah-madrasah Nahdlatoel Oelama.

Pada 1 Juli 1938, Berita Nahdlatoel Oelama menceritakan bahwa ketika KH Abdul Chalim masih menjabat Konsul HBNO cabang Cirebon, Beliau menggagas rencana untuk mengadakan konferensi Pergoeroean NO di Pekalongan.
Agenda kongres ini adalah untuk menyamakan dan mengatur: susunan badan BPC (pengurus cabang) dan anggotanya; leerplan (rencana pengajaran); rooster-roosternya (jadwal-jadwal); reglement (peraturan); administrasinya; kategori pembayaran muridnya; kweekschool (sekolah keperawatan); dan peruangan (pengaturan uang) BPC.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa KH Abdul Chalim penggagas cikal bakal pendirian Pergoeroean NU di Pekalongan sebagai pelaksanaan dari instruksi HBNO pusat.

KH Abdul Chalim sangat sungguh-sungguh dalam melaksanakan memperkenalkan agenda kongres untuk melaksanakan perguruan NU tersebut. Yaitu, dalam posisinya sebagai Konsul HBNO Daerah Cheribon, Beliau mengadakan tur (perjalanan) ke Cirebon, Pekalongan, Brebes, Tegal, Indramayu, dan Pemalang untuk memperkenalkan agenda kongres tersebut di kalangan NU.

Pada tahun 1938 itu, KH Abdul Chalim juga menjadi Konsul HBNO Jawa Tengah Barat dalam kongres NU ke-13 di Menes, Banten.

Di tahun 1939 di kongres NU ke-14 di Magelang, KH Abdul Chalim menjadi Konsul HBNO Jawa Tengah II. Pada tahun 1940, KH Abdul Chalim menjadi panitia pada kongres NU ke-15, yang diselenggarakan di Surabaya. Kongres ini dipimpin oleh KH Machfud Siddiq, dan membahas kemerdekaan.

Gembleng Hizbullah

Pada masa penjajahan Jepang (1942-1944), KH Abdul Chalim mengajak para ulama untuk menilai dan meneliti perjuangan mereka. Yaitu, supaya tidak rendah diri, dan supaya percaya diri untuk menghadapi musuh dari dalam, yakni “komunis yang ingin mengikis habis agama.”

Pada tahun 1945, KH Abdul Chalim menjadi 1 dari 9 orang bagian ruhaniawan untuk para perwira Hizbullah. Beliau menggembleng 500 pemuda dari seluruh Jawa dan Madura dari 2 Februari 1945-15 Mei 1945 di Cibarusah, Bogor.
Pada 22 Oktober 1945, KH Abdul Chalim “turut maju bertempur di Surabaya” bersama pasukan Sabilillah (Jalan Allah) dan Hizbullah (Tentara Allah), yang Beliau gembleng, untuk melaksanakan Resolusi Jihad gurunya, KH Hasyim Asy`ari (Rais Akbar/Ketua Besar PBNU), untuk “menggempur Belanda.”

Pada agresi militer Belanda pertama (1947) dan kedua (1948), KH Abdul Chalim tetap “menggembleng menyusun bahan” (pasukan Sabilillah dan Hizbullah) dengan berserah diri pada Tuhan dan “bertempur mati-matian” dalam melawan penjajah.

Pada agresi militer Belanda kedua (1948), KH Abdul Chalim menjadi pengajak kepada umat Islam, khususnya di Nahdlatul Ulama, di Indonesia untuk “sikap tetap tak putus asa” dalam melawan Belanda dan sekutunya.

Pada agresi militer Belanda kedua (1948), KH Abdul Chalim juga menghadapi musuh dari dalam, “ditikam berupa kawan,” yaitu orang-orang Indonesia yang mengaku komunis.

Pada tahun 1952, KH Abdul Chalim merekomendasikan ke KH Wahid Hasyim untuk menyusun panitia ekonomi pasca muktamar NU di Palembang (1952). Pada tahun 1955, KH Abdul Chalim menjadi Komisaris Daerah NU Karesidenan Cirebon.

Pada tahun 1955 juga, KH Abdul Chalim menjadi Komisaris Daerah NU Karesidenan Cirebon dan Kuningan, yang ketika itu Kuningan merupakan bagian Karesidenan Cirebon. Hal ini memudahkan KH Abdul Chalim dalam membentuk NU cabang Kuningan pada tahun yang sama.

Pada Pemilihan Umum 1955, KH Abdul Chalim berperan memenangkan Partai Nahdlatul Ulama di daerah Cirebon, yang ketika itu juga menang di Jawa Barat, dengan jumlah 105.317 dari 673.552 pemilih untuk jumlah total di Jawa Barat.

Di Muktamar NU ke-21 pada tahun 1956, KH Abdul Chalim terpilih sebagai salah seorang A’wan Syuriyah PBNU.
Pada tahun 1959 di Muktamar ke-22 di Batavia (Jakarta), KH Abdul Chalim ditunjuk sebagai Katib III (Sekretaris III) Syuriyah NU untuk tahun periode 1959-1962.

Pada tahun 1960, KH Abdul Chalim menjadi 1 dari 17 mustafadil (penasehat), termasuk KH Abdul Wahab Hasbullah, untuk Pengurus Besar Jam’iyah Ahlit Thoriqotil Al-Mu’tabaroh, (yang menyebarkan Islam moderat dan toleran).
Pada tahun 1962, KH Abdul Chalim menghadiri muktamar Partai NU di Solo. Dari 1960 sampai 1972, KH Abdul Chalim tercatat menjadi anggota MPRS dari Partai NU.

Dan pada tanggal 11 Juni 1972, KH Abdul Chalim meninggal dunia, dimakamkan di sekitar rumahnya, di Desa Leuwimunding, Kec. Leuwimunding, Kab. Majalengka, Jawa Barat, di kompleks madrasah milik keluarganya. (Moch. Nuruddin)

iklanMAI

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *