Presiden Joko Widodo telah menetapkan sejumlah tokoh yang dianggap berjasa bagi bangsa dan negara Indonesia. Berdasar surat dari Kementerian Sekretariat Negara RI Nomor R-09/KSN/SM/GT.02.00/11/2023 tertanggal 3 November 2023, ada enam sosok yang akan diberikan gelar pahlawan nasional pada tahun ini. Salah satunya KH Abdul Chalim Leuwimunding yang akan diberikan gelar pahlawan nasional RI Jumat (10/11/2023) besok. Berikut profile KH Abdul Chalim, yang sebagian besar dikutip dari buku berjudul “Calon Pahlawan Nasional KH Abd Chalim” Oleh Usep Abd Matin PhD – TP2GP 2023.
KH ABDUL CHALIM bertemu dengan KH Abdul Wahab Hasbullah di Tanah Suci. Pada 1914 M, saat usianya baru menginjak 16 tahun, KH Abdul Chalim memang menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu ke tanah Hijaz (Madinah dan Makkah). Dia menimba ilmu secara langsung kepada para ulama besar, seperti Abu Abdul Mu’thi dan Syekh Nawawi al-Bantani, dan bertemu dengan KH Abdul Wahab Hasbullah, yang kemudian menjadi teman dan sekaligus gurunya. Hampir setiap hari Kiai Chalim dan Kiai Wahab bertemu, belajar dan berdiskusi menyangkut upaya untuk memajukan kaum Muslimin di Tanah Air.
Saat terjadi perubahan politik di Tanah Hijaz pada Perang Dunia I di mana situasinya kurang nyaman, Kiai Chalim terpaksa kembali ke tanah kelahirannya pada 1917. Kepulangan Kiai Chalim hampir bersamaan pula dengan kepulangan Kiai Wahab ke Indonesia.
Saat di desa kelahirannya, KH Abdul Chalim sempat membantu ayahnya yang menjadi kepala desa. Ia bahkan diminta membantu kegiatan ayahnya dalam urusan kemasyarakatan sebagai juru tulis Wedana Leuwimunding. Setelah ayahnya wafat pada 1921, barulah ia berjuang dan berdakwah ke luar daerah.
Beliau berjalan kaki ke Surabaya dalam waktu 14 hari dan bertemu lagi dengan Kiai Wahab. Kiai Chalim kemudian dipercaya sebagai pengajar di Nahdlatul Wathan di kampung Kawatan VI Surabaya. Nahdlatul Wathon merupakan organisasi yang didirikan KH Abdul Wahab dan beberapa ulama dengan tujuan pada peningkatan mutu pendidikan Islam, pembentukan kader dan pembinaan juru dakwah.
Selain mengajar di Nahdlatul Wathan, dia juga tercatat sebagai pengajar di Tashwirul Afkar Surabaya pada tahun 1918. Tashwirul Afkar didirikan pada tahun 1914 oleh KH Ahmad Dahlan Achyad (1885-1962), KH Mas Mansur, Ki Mangun, dan KH Abdul Wahab Hasbullah.
Keberadaan KH Abdul Chalim mewarnai Tashwirul Afkar dari awalnya bertujuan sebagai forum diskusi keagamaan yang berwawasan kebangsaan, berubah menjadi wadah yang menyediakan berbagai ide para kiai pesantren sebagai cikal bakal pendirian NU. Saat itu para kiai berkumpul di Tashwirul Afkar ini.
Selama 10 tahun sejak 1916, KH Abdul Wahab Hasbullah ingin sekali ada perkumpulan Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) dengan alasan bahwa para kiyai sudah lama diinjak-injak oleh penjajah. Jika belum juga diberi izin oleh KH Hasyim Asy`ari sebagai kiai pemersatu ulama, maka KH Abdul Wahab Hasbullah akan kembali mengurus pesantrennya sendiri atau ke Sarekat Islam, dan pada akhirnya tidak akan ada NU.
KH Abdul Chalim menerima alasan ini, dan menyampaikannya kepada KH Hasyim Asy`ari, yang khawatir akan terjadi perpecahan di kalangan umat Islam jika ada organisasi Islam baru karena sudah banyak organisasi Islam ketika itu. Sowan KH Abdul Chalim ke KH Hasyim Asy`ari ini memohon agar kegelisahannya (KH Hasyim Asy`ari) itu diatasi dengan mendirikan perkumpulan (jum`iyyah) yang beranggotakan para ulama.
Permohonan dari KH Abdul Chalim ini akhirnya diterima oleh KH Hasyim Asy`ari dengan memberi mandat kepada KH Abdul Chalim agar mengundang para ulama dalam suatu musyawarah hingga nantinya perkumpulan NU terbentuk.
Ada temuan dari penelitian disertasi Muhammad Al-Barra, berjudul “Naskah Perjuangan Kiai Abdul Chalim: Edisi Teks dan Kajian Historiografi Nahdlatul Ulama, (Bandung: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, 2022). Yaitu, tanpa keterlibatan KH Abdul Chalim, NU tidak akan terbentuk.
Penggagas Kalimat ‘Kemerdekaan’
KH Abdul Chalim merupakan penggagas pertama untuk memasukan kata “kemerdekaan” sebagai syarat nomor satu dari tujuan pembentukan Komite Hijaz di awal 1920-an.
Gagasan ini Beliau sampaikan kepada KH Abdul Wahab Hasbullah, dan Kiai Wahab menyetujuinya. Kemerdekaan ini mencakup kemerdekaan negara-negara Muslim terjajah, khususnya Indonesia, dan kemerdekaan bermadzhab dalam beragama (Islam).
Gagasan KH Abdul Chalim ini merupakan respons terhadap sikap Raja Ibnu Sa`ud yang telah menobatkan dirinya sebagai Raja Hijaz pada tahun 1916 setelah mengambil alih kekuasaan dari Raja Husein bin Aly.
Saat itu, satu sisi, bala tentara Raja Ibnu Sa`ud terdiri dari para Badui dari daerah pegunungan yang kebanyakan tidak mengerti peraturan ilmu berperang. Di sisi lain, aliran Wahabi sangat dominan pada Raja Ibnu Sa’ud.
Seiring dengan kenyataan itu, bala tentaranya membunuh secara membabi buta orang-orang yang berbeda madzhab, dan membunuh siapa pun yang tidak mau tunduk kepada kepercayaan Wahabi, serta menghancurkan makam-makam yang dianggap bid`ah.
Bagi raja Ibnu Sa`ud, darah mereka yang berbeda madzhab adalah halal. Peristiwa pembunuhan dan penghancuran makam-makam ini terjadi pada tahun 1924.
KH Abdul Wahab Hasbullah dalam waktu singkat mengumpulkan para ulama untuk membahas peristiwa nasib umat Islam di tanah Hijaz.
Tujuan mengumpulkan para ulama ini di antaranya adalah untuk mempertahankan amaliyah serta ibadah empat madzhab, dan segera membentuk suatu Komite Hijaz.
KH Hasyim Asy`ari meminta KH Abdul Chalim supaya ikut membantu dan mendampingi KH Abdul Wahab Hasbullah untuk mengatasi permasalahan di Hijaz dengan mengatakan: “Mas Chalim, kasihan Kiai Wahab yang begitu keras kemauannya itu, ditendang ke sana kemari. Harap saudara ikut membantunya.”
“Semenjak inilah, beberapa orang ikut terpanggil mengikuti jejak KH Chalim.”
Jejak KH Abdul Chalim yang dimaksud adalah gagasan kemerdekaan sebagai tujuan Komite Hijaz. Tujuan kemerdekaan ini kemudian dimasukan oleh KH Abdul Chalim ke dalam surat undangan (uleman) menjadi kemerdekaan yang melepaskan diri dari penjajahan, dan kemerdekaan bermadzhab, serta mempertahankan amaliah ahli al-sunnah berjalan di Makkah. KH Abdul Chalim membuat surat undangan tersebut di jerambah (serambi) Kertopaten (Surabaya).
Ketika membuat surat tersebut, KH Abdul Chalim bertanya kepada KH Abdul Wahab Hasbullahb: “Pak Kiai apakah (saya tulis uleman dengan) ngandung tujuan kita untuk menuntut kemerdekaan?”
Lebih lanjut, KH Abdul Chalim menegaskan: “Umat Islam kita tidak leluasa, sebelum negara kita merdeka.” KH Abdul Chalim juga berkata: “Kita tidak boleh putus asa, kita yakin tercapai negeri merdeka.”
KH Abdul Wahab Hasbullah menyetujuinya, dan menjawabnya dengan penuh semangat: “Tentu itu (kemerdekaan) syarat nomor satu, umat Islam menuju ke jalan itu.”
KH Abdul Chalim kemudian menyebarkan kurang lebih 100 undangan ke kalangan ulama dan saudagar di Jawa dan Madura. Surat undangan tersebut berhasil mengumpulkan 65 ulama dan saudagar dari Jawa dan Madura. Mereka berkumpul di rumah KH Musa (mertua KH Abdul Wahab Hasbullah) di Kertopaten, Surabaya.
Undangan yang ditulis dan disebarkan oleh KH Abdul Chalim tersebut berhasil menghadirkan ulama besar dari Kudus, Semarang, Tegal, Jombang, Sidoarjo, Pasuruan, Madura, Gresik, Bangil, Bangkalan, dan Mojokerto.
Di antara para ulama besar itu adalah Kiai Hasyim Asy`ari, Dara Muntaha, Ki Mas Nawawi, Ki Asnawi, Kiai Ridwan Semarang, Kiyi Zubair, dan Ahmad Ghonaim dari Mesir. Karena itu, KH Abdul Wahab Hasbullah tampak merasa gembira.
Pertemuan ini, ternyata cukup menggetarkan penjajah Belanda. Penjajah itu kemudian menghasut dengan berbagai macam dalih.
Meskipun demikian, rapat para kiai itu terus berlanjut. Mereka menyetujui beberapa hal. Tujuh di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, rencana mengirimkan utusan mereka ke Makkah. Musyawarah ulama telah menetapkan Kiai Asnawi dan Kiai Mas Alwy sebagai delegasi ke Hijaz.
Kedua, menamakan perkumpulan (organisasi) mereka dengan nama “Nahdlatul Ulama” (Kebangkitan Ulama) disingkat NU (1926).
Nama NU ini diambil dari nama “Nahdlatul Wathan” (Kebangkitan Tanah Air). Adapun kata “ulama” nya merujuk kepada 65 ulama dan saudagar yang kumpul saat itu.
Ketiga, dua delegasi tadi adalah delegasi organisasi NU.
Keempat, para ulama menyetujui anggaran dasar NU, yang sampai “kini” (1970) tidak berubah. Kelima, para ulama menyetujui lambang NU yang dibuat oleh Ki Ridwan. Keenam, disusun dua bagian pengurus: Syuriyah (legislatif/pengendali utama organisasi) dan Tanfidziyah (eksekutif/pelaksana organisasi). KH Hasyim Asy`ari Rais (Ketua) Utama pertama. Pak Ki Dahlan Kebon Dalem wakilnya. Katib awal (Sekretaris I) nya adalah Pak Kiai Wahab yang utama. “Otak Nahdlotul Ulama’ yang pertama. Katib tsani (Sekretaris II) saya (KH Abdul Chalim) untuk membantunya. Hanya perlu waktu itu tenaganya.”
Ketujuh, KH Abdul Chalim menyusun A`wan (Pengurus Besar Lengkap Syuriyah).
Pada tanggal 7 Syawwal 1345 (9 April 1927), dikirimlah surat dari Komite Hijaz ke Raja Ibnu Sa`ud yang berisi meminta raja untuk tidak merusak makam nabi dan para sahabatnya; kemerdekaan umat Islam dari penjajah; kemerdekaan bermadzhab di negeri Hijaz; tempat-tempat bersejarah agar tidak dirusak; agar disebarluaskan ke seluruh dunia tentang ketentuan biaya ibadah haji; agar ditetapkan secara tertulis tentang undang-undang di negeri Hijaz supaya diketahui banyak orang.
Pada tanggal 4 Dzulhijjah 1346 (23 Mei 1928), hasil dari surat tersebut dijawab oleh Raja Ibnu Sa`ud yang menyatakan bahwa madzabnya adalah Al-Salaf Al-Shalih, Raja Ibn Sa`ud tidak akan menghacurkan makam Nabi Muhammad, dan akan menghormati empat madzhab.
Dengan adanya jawaban ini, gagasan kemerdekaan dari KH Abdul Chalim berpengaruh dan terwujud bukan hanya ketika mengundang para kiai Jawa dan Madura saja, tetapi juga ketika surat yang dikirimkan ke Raja Ibnu Sa`ud itu mencantumkan kemerdekaan dari penjajahan dan kemerdekaan bermadzhab. (Moch Nuruddin)